Sudah lama saya tidak singgah atau bertamu ke kantor
Gubernur Aceh. Dengan sengaja Rabu
(08/11/2017) lalu, saya menyempatkan diri menginjak kaki lagi di kantor kerja
orang nomorsatu d Aceh. Tujuan saya ke Biro Humas Sekretariat Aceh yang berada
di timur laut pekarangan kantor
gubernur. Biro Humas tersebut berada di lantai II berdekatan dengan gedung
serbaguna yang sering dijadikan acara seremonial mbahkan pelantikan.
Saat memasuki gerbang pekarangan kantor gubernur, saya
menoleh ke pos security atau pos satpam yang kebetulan tengah dijaga dua
petugas. Namun, saya kaget ketika mendapatkan dua petugas tengah mengepul asap
rokok mereka dengan santai. Sambil
bergumam saya menanyakan kepada diri sendiri apakah semenjak ditinggal Gubernur
Zaini Abdullah, pekarangan kantor gubernur kembali berasap. Ah, saya membantah
sendiri anggapan hingga ke tempat parkir.
Pemandangan serupa pun saya temui di
dekat parkiran kendaraan roda dua. Beberapa petugas pun sedang menikmati rokok.Hati saya kembali bertanya. Lagi-lai saya membantah sendiri
asumsi jika bangunan yang pernah ditinggal dua
gubernur Aceh yang kebetulan berprofesi sebagai dokter diracuni asap rokok. Namun, kesimpulan saya
pun tak berlangsung lama. Hanya beberapa
puluh meter menjelang gedung Biro Humas/Protokol, saya kembali disuguhi
pemandangan: para pegawai merokok di koridor gedung. Ah, saya pikir wajar saja, kan mereka tidak merokok dalam ruangan. Padahal
di sekitar mereka berkumpul saya menemukan
beberapa pajangan bertulisan
Dilarang Merokok.
Tak lama saya mencapai ruang Humas, tempat penerbitan dan
penyiaran yang berada di lantai dua.. Saya ingin mendaftar untuk liputan
perhelatan Sail Sabang-sebuah event internasional yang dilangsungkan Dinas
Pariwisata Aceh akhir November hingga 5 Desember 2017 mandatang.
Pikiran saya kembali berkecamuk, saat berada di salah satu
ruang tersebut, saya kembali mendapatkan penghuni ruangan; tidak tahu persis
apakah pegawai atau tamu dibiarkan merokok dalam ruangan. Apalagi saat itu,
kondisi ruangan sedang penuh dan dingin karena penyejuk udara masih nyala
dengan posisi ruangan tertutup.
Pasif tapi Masif
Mencermati fenomema
menyambut Hari Kesehatan 12
November 2017 ini, makin kelihatan bahwa
space atau ruang merokok bagi perokok
justru meluas lagi bahkan masif.
Coba saja berkunjung ke Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Meuraxa dan RSUD Zainoel
Abidin akan mudah menemukan para perokok di sana. Para perokok tanpa merasa
bersalah menyulut rokok mereka di kantin atau tempat istirahat.
Di RSUDZA bahkan lebih parah. Sejak terjadi perselisihan
soal larangan merokok, para keluarga pasien memanfaatkan sebuah balai yang tak
jauh dari ruang inap pasien sebagai “surga merokok”. Padahal, di balai itu
jelas tertulis larangan merokok lengkap dengan sumber penyakit akibat rokok.
Celakanya lagi, di balai itu juga dijadikan tempat istirahat
anak-anak dan bayi yang menunggu keluarga mereka dirawat. Bisa jadi mereka
tidak tahu apalagi paham. Bisa jadi juga karakter etnis Aceh yang batat alias ugoh dalam kehidupan sosial. Padahal, di
tempat itu juga keluarga mereka berteduh dan berusaha meraih sehat agar tak
seperti pasien yang tengah dirawat.
Tidak sedikit upaya pemerintah dalam mendorong kesehatan
warganya. Dari larangan biasa hingga Qanun pun lahir seperti yang sudah
ditempuh Pemko Banda Aceh dan Aceh Barat. Regulasi yang melarang rokok dan
merokok di tempat tertenu, salah satunya rumah sakit pun sudah disosialisasi
lebih dari setahun. Sejak disahkan Januari 2016 lalu, Qanun No. 5
Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sepertinya jalan di tempat. Jangan fasilitas
umum, di lingkungan pemerintah sendiri masih berlangsung Kawasan
Tarik Rokok (KTR) versi lain.
Entah karena ikut pemerintah pusat yang belum beraneksasi
pada Framework Convention for Tobacco Control ( FCTC) atau memang belum
dibutuhkan. Entahlah, yang pasti langkah mengurangi konsumsi rokok dan
menekankan asap rokok makin tertatih saja. Indonesia sebagai satu-satunya negara yang
masih bandel meratifikasi kesepakatan pengendalian tembakau di negaranya. Meskipun presiden Joko Widodo pernah menolak
RUU Pertembakauan.
KTR versi pemerintah semangatnya melindungi perokok
pasif terutama anak-anak dan kaum
perempuan. Tempat larangan merokok pun diprioritaskan lembaga pendidikan, tempat ibadah, rumah
sakit, tempat bermain, dan kantor pemerintah, ruangan tertutup. Kendaraan umum,
dan beberapa tempat lainnya yang berpotensi menyebabkan orang terpapar asap
rokok.
Namun, KTR ini
tampaknya perlu diperkuat dengan Qanun Aceh secara provinsial. Karena saat ini
baru ada beberapa daerah yang memberlakukan KTR di daerah mereka. Pemerintah
Aceh sendiri bau menerapkan di sekretariat daerah, itu pun sudah buyar seriring
pengawasan yang lemah.
Peduli Keu Sihat Tan
Melihat perkembangan
rokok dan KTR, saya terbayang pada sebuah anekdot terhadap perilaku
warga Aceh. Penduduk Indonesia berlatarbelakang religius Islam justru mengabaikan nilai Islam. Betapa gampang membuang sampah
sembarang. Tanpa merasa bersalah menerobos lampu merah. Berperilalu tak terpuji
dalam hidup bermasyarakat. Sehingga larangan pun ditantang. Timbul anekdot jika
orang Aceh Tuhan saja dilawan apalagi manusia.
Anekdot ini memang sederhana dan mengundang senyum. Tanpa
disadari kita tengah menertawakan diri sendiri yang nyaris tak peduli pada
Tuhan, alam, termasuk kesehatan kita. Entah karena religius tadi sehingga
ketentuan hidup pasrah pada takdir Allah SWT. Akibat kepada kesehatan pun terabakan. Tak salah jika Peduli Keu Sihat Tan artinya peduli pada
kesehatan pun tidak. Asumsi pada adagium
warga Aceh di pedesaan. Get na nibak tan
artinya lebih bagus ada daripada tidak.
Selamat Hari Kesehatan.