Namun, yang ingin ditelisik bukan persoalan jabatan menteri. Nila yang dipanggil SBY saat menjabat Presiden RI untuk kedua kalinya, ternyata tak diangkat menjadi Menkes. SBY kala itu malah memilik Endang Rahayu Sedyaningsih yang kemudian mundur karena alasan kesehatan. Kini dipercaykan menjadi nakhoda kementerian yang notabenenya banyak masalah kesehatan dan penyakit. Demikian juga dengan Susi yang berhasil meraih berbagai penghargaan di bidang dunia usaha.
Penunjukan Menkes yang berlatar dokter ternyata tak berdampak positif pada promosi kesehatan. Sebut saja Faried Afansa Moeloek, Siti Fadilah Supari, Endang Rahayu, Nafsiah Mboi sangat sedikit perhatiannya pada promosi kesehatan. Akibatnya, dana untuk kampanye pencegahan penyakit pun bagai dianaktirikan. "Latar belakang dokter sulit berorientasi pada pencegahan, yang terbayang pengobatan." ujar Ainal Mardhiah, magister Kesehatan Masyarakat UGM.
Sebagai contoh, penyakit akibat tembakau menduduki peringkat teratas setelah TBC, HIV/AIDS. Namun, upaya mencegah jumlah perokok sangat minim dibandingkan promosi pabrik rokok secara besar-besaran. Bahkan Permenkes No. 28 Tahun 2013 tentang pemasangan gambar penyakit di bungkus rokok menuai kritik. Satu sisi, peringatan bergampak membawa dampak paling tidak bagi perokok pemula, namun gambar perokok dengan latar belakang tengkorak dan anak-anak sangat tidak etis. Karena UU Pers no. 40 1999 mengharamkan iklan di media menampakkan wujud rokok.
Masih soal rokok. Menteri Susi Pudjiastuti adalah seorang perokok dan bertato. Memang, tak ada ketentuan menteri perempuan tak boleh merokok. Jika yang dilakukan pejabat publik setingkat menteri, maka hal tersebut tak patut secara etika. Indonesia adalah satu dari beberapa negara yang tidak mengaksesi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).
Semoga saja, dua Srikandi Kabinet Kerja Jokowi_JK tidak mengecewakan.