Saat
pemerintah berencana menaikkan cukai rokok untuk menekan angka perokok, selalu
ada tantangan di kalangan penggiat industri candu ini. Tak hanya produsen
rokok, tapi juga para agen atau sosok yang mengatasnamakan pelindung pendapatan
petani.
Para pendukung industri tembakau selalu membandingkan
pendapatan dari hasil tembakau yang mencapai 10,5 persen dibandingkan
penerimaan pajak lainnya. Sayangnya, para Industri Hasil Tembakau (IHT) tak
membandingkan dengan dampak atau akibat paparan tembakau dan rokok.
Tak hanya itu, Soeseno, ketua Asosiasi Petani Tembakau
Indonesia (APTI) menyatakan, kenaikan cukai tembakau di atas 12 persen
berakibat pada penyerapan tembakau yang turun hingga 3,5 persen.
"Sampai saat ini, tembakau masih menjadi komoditas
pilihan," ujar Soeseno seperti dikutip Jawapos.com (31/10).
Setiap kali kepentingan kesehatan
dinyatakan, para pembela industri rokok selalu memanfaatkan petani tembakau dan
jumlah pekerja di industri ini. Biasanya dinyatakan bahwa ada 2 juta
petani tembakau, dan industri rokok adalah industri yang padat karya. Pada
kenyataannya, Kementerian Pertanian menghitung bahwa jumlah petani tembakau
hanyalah 533 ribu orang di tahun 2015. Itupun mereka menanam tembakau
hanya semusim.
Kondisi petani tembakau
tidaklah makmur sebagaimana yang kerap digambarkan, karena banyak di antaranya
yang terikat sistem ijon, dengan harga jual yang ditetapkan oleh gudang, yang
merupakan perpanjangan industri rokok. Lantaran pertanian tembakau sulit
memberikan menguntungkan, maka pekerja anak banyak digunakan, seperti yang
telah ditemukan oleh banyak penelitian. Akibatnya, green tobacco
sickness, yang banyak diderita petani tembakau—sekitar 66% dari
mereka—kini juga diderita anak-anak.
Kondisi kerja yang buruk
banyak ditunjukkan di industri rokok. Upah buruh rokok adalah yang paling
rendah di antara sektor lainnya, bahkan banyak di antara industri ini yang
membayar di bawah UMR. Pelanggaran hak-hak pekerja juga telah banyak
dilaporkan. Ancaman PHK kalau pengendalian tembakau dilakukan
sesungguhnya hanyalah kebohongan, dan yang sesungguhnya terjadi adalah
mekanisasi industri rokok untuk memenuhi pasar dengan sigaret kretek mesin,
jenis rokok yang kini terbanyak dikonsumsi di Indonesia.
Data Badan Pusat
Statistik dinyatakan bahwa pekerja industri rokok turun dari 346 ribu di tahun
2008 menjadi 281 ribu di tahun 2012. Angka itu jauh di bawah klaim
pendukung industri rokok yang menyatakan jumlah pekerja antara 600 ribu hingga
4 juta. Permenperin sendiri memberikan jalan bagi mekanisasi ini.
Dalam rencana Kementerian, ketika produksi total rokok di tahun 2015 adalah 399
miliar batang, sigaret kretek tangan (SKT) berjumlah 77 miliar. Sementara
pada tahun 2020, ketika total produksi adalah 524 miliar batang, SKT hanya naik
menjadi 77,5 miliar. Itu artinya kenaikan sebanyak 125 miliar batang itu
akan dilayani hampir sepenuhnya dengan mekanisasi. Investasi industri
rokok tidak akan membawa dampak positif ketenagakerjaan seperti dikutip dari
www.komnaspt.or.id.