Mengapa Ada Uang Rokok?

No Comments


Tanpa sengaja. Suatu hari seorang teman berceloteh soal pekerja di Aceh. Mereka menganggap  cost menggunakan pekerja di Aceh lebih tinggi dibandingkan luar Aceh bahkan luar negeri. Padahal besaran upah di luar negeri bisa dua kali lipat dibandingan ongkos pekerja di daerah ini. Namun, mereka masih menganggap jika dana dikeluarkan lebih tinggi karena tak bisa dipertanggungjawabkan. Uang Rokok namanya.
Uang Rokok sering dijadikan dalih untuk meminta lebih pekerja kepada majikannya.  Istilah Uang Rokok juga yang menggelayut persoalan ekonomi dan sosial dalam masyarakat Indonesia, terlebih lagi di Aceh. Karena di Aceh seperti sudah menjadi sebuah kesepakatan jika ada Uang Kopi masih diganjar lagi dengan Uang Rokok. Akibatnya, Uang Rokok nyaris menjadi barometer sebuah urusan dari yang formal hingga nonformal.
Teman ini mengeluhkan bayaran ekstra. Selain membayar ongkos borongan pekerjaan, mereka harus membeli kopi atau teh untuk kudapan saat rehat sejenak dalam bekerja. Tak hanya itu, majikan atau mandor pun tetap harus menyediakan dana untuk rokok meskipun tak masuk dalam plot anggaran. Karena rata-rata pekerja kasar menjadikan rokok sebagai “teman” setia mereka dalam melaksanakan tugasnya.
Kendati tidak wajib setiap saat. Majikan atau pemilik pekerjaan jangan sampai alpa menganggarkan Uang Kopi dan Uang Rokok. Jika tidak progres pekerjaan bisa bermasalah  atau tidak selesai tepat waktu. Syukur-syukur tukang tak berulah karena tidak mendapatkan uang kopi atau uang rokok.
Seukuran Rokok
Khusus di Aceh rokok seakan menjadi hal yang “wajib” dalam  kehidupan sosial.  Setiap pertemuan atau event apa pun, rokok sering dijadikan pemantik untuk membuat kegiatan lancar. Tidak hanya pada acara keluarga, agenda sosial kemasyarakatan, rokok nyaris lebih seksi dibandingkan kopi dan kudapan lainnya.
Celakanya lagi, rokok bagaikan pemicu inspirasi bagi mereka yang sudah kecanduan. Sehingga rokok ada di mana-mana. Dalam suasana pesta, rapat umum, pertemuan nonformal hingga gotong-royong sekali pun.
Barangkali, kita sering mendengar jika cara masyarakat membandingkan sesuatu dengan rokok. Seukuran rokok atau jarak waktunya hingga sebatang rokok habis terbakar. Bahkan jargon “sibak rokok treuk” sebagai perumpamaan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk sampai kepada tujuan seperti pernah populer saat Aceh masih didera konflik.
Kembali ke persoalan Uang Rokok. Masyarakat Indonesia tidak sadar jika rokok sudah menjadi musuh dalam selimut bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa rokok merupakan pembunuh nomor satu di dunia, sehingga menjadi salah satu ancaman kesehatan terbesar yang pernah dihadapi masyarakat dunia. Menurut data WHO (2015), rokok membunuh hampir enam juta orang pertahun, di antaranya lebih dari 600.000 adalah mereka yang tidak merokok yang terpapar asap rokok (perokok pasif).  Maraknya iklan rokok dan murahnya rokok hingga bebasnya orang mendapatkan rokok, membuat benda ini mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat terutama perokok pemula. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menemukan tingkat perokok berusia 10 tahun atau lebih di Indonesia  sudah mencapai 47,5  persen.  Sejak tahun 2013 prevalensi merokok pada remaja (10-18 tahun) terus meningkat, yaitu 7,2% (Riskesdas 2013), 8,8% (Sirkesnas 2016) dan 9,1% (Riskesdas 2018). Usia terbanyak merokok tiap hari berusia 30-34 tahun sebesar 33,4 persen, umur 35-39 tahun 32,2 persen. Sedangkan proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (47,5% banding 1,1%). Berdasarkan jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah proporsi perokok aktif setiap hari yang terbesar (44,5%). Artinya merokok memang miliknya warga berpendidikan rendah dan buruh kasar.
Strategi phylanthropyatau politik balas budi dalam bentuk bantuan yang dilakoni  perusahaan rokok membuat masyarakat lupa diri, sehingga menafikan akibat yang ditimbulkan karena rokok. Sebut saja Community Social Responsibilty (CSR) melalui beasiswa telah menggelapkan mata masyarakat termasuk pemerintah. Pencitraan positif pabrik rokok merupakan bagian dari jebakan terhadap bom waktu kematian akibat rokok.
HTTS dan KTR
Menyadari bahaya rokok, sejumlah daerah sudah melakukan terobosan pembatasan kawasan rokok dan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR tersebut di antaranya bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya akibat merokok dan menekan angka pertumbuhan perokok pemula.  Kota Banda Aceh menjadi  daerah kedua yang sudah memiliki regulasi  tentang KTR setelah Aceh Barat yang sudah maju selangkah dengan Qanun  KTR No. 14 tahun 2015.
Qanun No. 5 Tahun 2016 yang terbit  21 Januari 2016 lalu. Qanun tersebut secara resmi melarang rokok di antaranya  tempat publik termasuk  lingkungan kesehatan, pendidikan, rumah ibadah dan angkutan umum lalu harus melewati tahap sosialisasi selama setahun. Artinya,  pada Mei 2017, masa sosialisasi sudah terlampaui sehingga sanksi sudah bisa diterapkan. 
Sanksi  atau denda bagi pelanggar KTR yakni siapa pun yang merokok dalam area KTR didenda Rp 200 ribu, dan menjual rokok di area tersebut menerima sanksi lebih berat atau denda Rp 500 ribu  sudah mendesak untuk memberi efek jera.  Sayangnya, penerbitan qanun KTR  seperti berada di jalan sunyi. Setelah lahir, sangat jarang qanun tersebut disosialisasikan. Sehingga, larangan merokok di tempat tersebut nyaris tak berlaku.
Momentum peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS)  yang jatuh pada setiap tanggal 31 Mei tahun ini juga dapat dijadikan sarana pemahaman KTR. Keuntungan lain adalah HTTS  2017 bertepatan dengan datangnya Ramadan dalam suasana berpuasa. Momentum ini juga bisa digunakan pemerintah dan aktivis antitembakau untuk mengkampanyakan bahaya tembakau khususnya rokok. Jika saat berpuasa bisa berhenti merokok, tak ada salahnya mencoba berhenti total untuk tidak lagi bersentuhan dengan tembakau dan zat adiktif lainnya.
Perokok Pasif                
Dalam kasus  asap rokok, perokok pasif adalah yang paling menderita. Sudah tak merokok tapi terkena dampaknya.  Anak-anak dan perempuan yang tidak tahu menahu soal rokok harus jadi korban. Celakanya lagi, selain pemahaman perokok yang kurang, pemerintah seperti acuh dengan kondisi kesehatan perokok pasif atau yang terpapar rokok.
Hampir tak ada ruang yang tidak terpapar asap rokok. Beberapa tempat yang sudah ditetapkan sebagai area larangan merokok, tapi masih ditemukan perokok yang tanpa bebas terhadap sanksi. Rumah Sakit Umum Dokter Zainul Abidin (RSUZA) Banda Aceh sebagai pilot project area bebas rokok justru jadi tempat nyaman bagi perokok di balai yang dipajang larangan merokok. Demikian juga dengan RSU Meuraxa, Banda Aceh. Jangan tanya angkutan umum, apalagi tempat ibadah.
Mengapa ini terjadi?  Selain karena masih kurangnya kesadaran perokok, pengambil kebijakan hingga belum tegasnya peraturan hingga sanksi yang diterapkan. Sehingga peraturan larangan merokok bagaikan anak haram yang tak diinginkan. Bisa jadi qanun atau apapun namanya tentang larangan rokok atau tembakau hanya menunaikan tugas legislasi agar terlihat pemerintah bekerja. Karena perokok masih bebas mengepul di tempat terlarang. Artinya fenomena uang kopi ditambah Uang Rokok terus subur di negeri tercinta. Paling mereka meindungi mereka yang tak ada hubungannya dengan rokok.

back to top