Rencana
pemerintah menaikkan tarif cukai rokok
resmi di batalkan. Melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan pembatalan
rencana kenaikan cukai rokok yang akan diberlakukan awal tahun 2019. Keputusan ini tentunya menyedihkan bagi
penggiat kesehatan, tapi menggembirakan bagi industri rokok yang bisnis
tembakau pada umumnya.
Kementerian
Kesehatan menyambut keputusan pemrintah dengan langkah memperbesar gambar seram
di bungkus rokok hingga 65 persen. Gambar tersebut diharapkan bisa menekan
angka prevalensi merokok terutama di
kalangan pemula. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan angka konsumsi rokok
remaja meningkat khusus remaja usia 10-18 tahun mengalami peningkatan, dari 7,2
persen pada 2013 menjadi 9,1 persen.
Cukai rokok itu sebagian dari instrumen
untuk mengurangi konsumsi rokok. Kalaupun belum bisa dinaikkan, beberapa hal
yang kemudian dilakukan di antaranya adalah memperbanyak kawasan tanpa asap
rokok, dan mengurangi iklan luar ruang," tutur Dirjen Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, Anung Sugihantono seperti dikutip www.health.detik.com (08/11),
Lagi
pula, pendapatan negara dari rokok pun tidak seperti yang disampaikan selama
ini. sebuah berita di www.detik.com. Judulnya: "Ternyata,
Penerimaan Pajak Terbesar Bukan dari Cukai Rokok. Pernyataan ini disampaikan
Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Indonesia, Robert Pakpahan dalam sebuah
konferensi pers Oktober ini. Detikcom memuat pernyataan Dirjen Pajak 18 Oktober
2018 lihat
(https://news.detik.com/video/181018073/ternyata-penerimaan-pajak-terbesar-bukan-dari-cukai-rokok)
yang menyatakan justru industri pengolahan yang banyak menyumbang pajak bagi
negara.
Saya agak kaget
karena selama ini para penggiat rokok dan industri tembakau mengklaim sebagai
penyumbang terbesar. Dengan pernyataan ini semakin menyadarkan kita industri
pengolahan mencapai 30 persen. Tahun 2018 penerimaan pajak dari industri
pengolahan mencapai Rp 420 triliyun atau lebih besar dari cukai rokok yang
hanya Rp 150 triliyun. Ironisnya,
pengeluaran biaya negara untuk mengatasi penyakit akibat rokok mencapai tiga kali lipat dari pendapatan
cukai rokok.
Seukuran Rokok
Khusus
di Aceh rokok seakan menjadi hal yang “wajib” dalam kehidupan sosial. Setiap pertemuan atau event apa pun, rokok
sering dijadikan pemantik untuk membuat kegiatan lancar. Tidak hanya pada acara
keluarga, agenda sosial kemasyarakatan, rokok nyaris lebih seksi dibandingkan
kopi dan kudapan lainnya.
Celakanya
lagi, rokok bagaikan pemicu inspirasi bagi mereka yang sudah kecanduan.
Sehingga rokok ada di mana-mana. Dalam suasana pesta, rapat umum, pertemuan
nonformal hingga gotong-royong sekali pun.
Barangkali,
kita sering mendengar jika cara masyarakat membandingkan sesuatu dengan rokok.
Seukuran rokok atau jarak waktunya hingga sebatang rokok habis terbakar. Bahkan
jargon “sibak rokok treuk” sebagai
perumpamaan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk sampai kepada tujuan seperti
pernah populer saat Aceh masih didera konflik.
Kembali
ke persoalan Uang Rokok. Masyarakat Indonesia tidak sadar jika rokok sudah
menjadi musuh dalam selimut bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan
bahwa rokok merupakan pembunuh nomor satu di dunia, sehingga menjadi salah satu
ancaman kesehatan terbesar yang pernah dihadapi masyarakat dunia. Menurut data
WHO (2015), rokok membunuh hampir enam juta orang pertahun, di antaranya lebih
dari 600.000 adalah mereka yang tidak merokok yang terpapar asap rokok (perokok
pasif). Maraknya iklan rokok dan
murahnya rokok hingga bebasnya orang mendapatkan rokok, membuat benda ini
mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
Jumlah
perokok di Indonesia terus meningkat terutama perokok pemula. Usia terbanyak merokok tiap hari berusia
30-34 tahun sebesar 33,4 persen, umur 35-39 tahun 32,2 persen. Sedangkan
proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok
perempuan (47,5% banding 1,1%). Berdasarkan jenis pekerjaan,
petani/nelayan/buruh adalah proporsi perokok aktif setiap hari yang terbesar
(44,5%). Artinya merokok memang miliknya warga berpendidikan rendah dan buruh
kasar.
Strategi
phylanthropy atau politik balas budi
dalam bentuk bantuan yang dilakoni
perusahaan rokok membuat masyarakat lupa diri, sehingga menafikan akibat
yang ditimbulkan karena rokok. Sebut saja Community Social Responsibilty (CSR)
melalui beasiswa telah menggelapkan mata masyarakat termasuk pemerintah.
Pencitraan positif pabrik rokok merupakan bagian dari jebakan terhadap bom
waktu kematian akibat rokok.
KTR
Menyadari
bahaya rokok, sejumlah daerah sudah melakukan terobosan pembatasan kawasan
rokok dan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR tersebut di antaranya bertujuan untuk
melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya akibat merokok dan menekan angka
pertumbuhan perokok pemula. Kota Banda
Aceh menjadi daerah kedua yang sudah
memiliki regulasi tentang KTR setelah
Aceh Barat yang sudah maju selangkah dengan Qanun KTR No. 14 tahun 2015.
Qanun
No. 5 Tahun 2016 yang terbit 21 Januari
2016 lalu. Qanun tersebut secara resmi melarang rokok di antaranya tempat publik termasuk lingkungan kesehatan, pendidikan, rumah
ibadah dan angkutan umum lalu harus melewati tahap sosialisasi selama setahun.
Artinya, pada Mei 2017, masa sosialisasi
sudah terlampaui sehingga sanksi sudah bisa diterapkan.
Sanksi atau denda bagi pelanggar KTR yakni siapa pun
yang merokok dalam area KTR didenda Rp 200 ribu, dan menjual rokok di area
tersebut menerima sanksi lebih berat atau denda Rp 500 ribu sudah mendesak untuk memberi efek jera. Sayangnya, penerbitan qanun KTR seperti berada di jalan sunyi. Setelah lahir,
sangat jarang qanun tersebut disosialisasikan. Sehingga, larangan merokok di
tempat tersebut nyaris tak berlaku.
Perokok Pasif
Dalam
kasus asap rokok, perokok pasif adalah
yang paling menderita. Sudah tak merokok tapi terkena dampaknya. Anak-anak dan perempuan yang tidak tahu
menahu soal rokok harus jadi korban. Celakanya lagi, selain pemahaman perokok
yang kurang, pemerintah seperti acuh dengan kondisi kesehatan perokok pasif
atau yang terpapar rokok.
Hampir
tak ada ruang yang tidak terpapar asap rokok. Beberapa tempat yang sudah
ditetapkan sebagai area larangan merokok, tapi masih ditemukan perokok yang
tanpa bebas terhadap sanksi. Rumah Sakit Umum Dokter Zainul Abidin (RSUZA)
Banda Aceh sebagai pilot project area
bebas rokok justru jadi tempat nyaman bagi perokok di balai yang dipajang
larangan merokok. Demikian juga dengan RSU Meuraxa, Banda Aceh. Jangan tanya
angkutan umum, apalagi tempat ibadah.
Mengapa
ini terjadi? Selain karena masih
kurangnya kesadaran perokok, pengambil kebijakan hingga belum tegasnya
peraturan hingga sanksi yang diterapkan. Sehingga peraturan larangan merokok bagaikan
anak haram yang tak diinginkan. Bisa jadi qanun atau apapun namanya tentang
larangan rokok atau tembakau hanya menunaikan tugas legislasi agar terlihat
pemerintah bekerja. Karena perokok masih bebas mengepul di tempat terlarang.
Demikian
juga dengan pola pembangunan kesehatan kita. Mindset atau pola pikir kesehatan
Indonesia terutama di Aceh berada di jalur sesat. Para stakeholder lebih gesit membangun
tempat pengobatan dan rumah sakit untuk mengobati pasien daripada pola
mencegah sakit yang jauh lebih bermakna. Kondisi ini bisa dimaklumi karena
negara memproduksi obat dan alat kesehatan. Pemerintah juga mendapatkan jasa
dari pengobatan dan rawat inap pasien yang tidak disadari juga dibiayai negara
melalui BPJS terutama sakit karena rokok yang jelas-jelas menggeroti keuangan
negara. Nah, pada peringatan Hari Kesehatan ini, mari kita luruskan pola pikir
agar tidak ada lagi aliran sesat dalam pembangunan kesehatan Indonesia.