“Apakabar, Pak, Bu sehat?”
Itulah pertanyaan yang sering muncul dalan kehidupan sosial.
Sehat menjadi bagian yang penting bahkan
tak ternilai harganya. Kendati ketika
sakit ada yang menangung biaya misalnya lewat asuransi. Tak penah ada manusia
normal yang menginginkan seseorang bisa menerima klaim karena ingin menikmati
polis yang mereka bayar.
Betapa tak ternilai harganya ketika suatu kenikmatan
hilang karena sakit. Maka, wajar saja siapa pun yang bersua sesama mereka tidak
menanyakan lain, kecuali sehat dan mendoakan selalu sehat.
Menyambut Hari
Kesehatan Nasional (HKN) yang jatuh
setiap tanggal 12 November, saya mencoba menggugah kita untuk semua untuk
kembali merenung, apakah kita sudah sehat?
Berpikir
sehat
Kita sering mendengar
“mensana in corpore sano”dalam
tubuh yang sehat terdapat jiwa yang
tenang. Istilah latin yang populer dalam
dunia pendidikan dan kesehatan. Namun, kondisi sehat bukan hanya pada kesehatan
badan, tapi juga kesehatan pikiran. Karena pikiran yang tidak sehat bisa
berakibat pada perilaku yang menyimpang, kendati belum gila. .
Perubahan sosial dan
perubahan perilaku manusia kita dewasa ini tak luput dari penyimpangan. Perilaku yang sebelumnya dianggap aneh kini
makin lazim. Sebagai contoh terobos lampu lalulintas, yang semestinya sesuatu
hal yang memalukan justru dianggap biasa. Masyarakat pun makin permisif dengan
kondisi lapangan. Fenomena ini makin menguatkan kita bahwa kita sedang sakit.
Kondisi bangsa sakit
juga dapat disaksikan setiap ada penangkapan pelaku kejahatan, termasuk dalam
kasus korupsi. Karena jiwa sudah tidak sehat, maka mereka tidak merasa
bersalah, bahkan ketawa lebar saat disorot kamera wartawan. Apakah kita sedang
terkena gangguan jiwa sehingga kondisi sehat pun harus diuji kembali.
Gangguan jiwa
masyarakat Indonesia mencapai 1,7 persen dari penduduk Indonesia. Aceh dan Yogjakarta
mencapai angka di atas rerata nasional atau 2,7 persen. Hanya Kalimantan Barat
yang masih di bawah 1 persen atau 0,7% (riskesdas 2013). Apakah data ini, sehingga
Aceh dikenal dengan jargon “Aceh Pungo?”
Jika gangguan jiwa di
Aceh akibat konflik. Lalu, bagaimana dengan Jogja yang masyarakatnya manut dan tak banyak neko-neko. Riskesdas atau riset
kesehatan dasar yang dikeluarkan per tiga tahun menunjukkan perkembangan itu.
Kita bisa ambil contoh
pola pembangunan kesehatan di Indonesia bahkan di Aceh sekalipun. Pemerintah
bukan mencegah munculnya penyakit warganya. Pemerintah justru membangun rumah
sakit (RS) baru dan memperluas RSU Dr
Zainoel Abidin. Upaya ini akibat pasien yang menunggu daftar tindakan semakin
tidak proporsional. Pengoperasian kembali RSU lain ternyata tak memberi dampak
positif, sehingga harus dibangun ruang rawat inap yang baru.
Peningkatan jumlah
warga yang berobat ke RSU Provinsi ini efek domino pengobatan gratis melalui Jaminan Kesehatan
Aceh (JKA) yang kemudian diintegrasikan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
dalam bentuk BPJS.
Bisa dipahami jika
kegiatan hidup sehat melalui promosi kesehatan tidak populer. Tidak banyak dana
yang terserap jika derajat kesehatan membaik. Ada faktor ekonomi dan bisnis
yang dikedepankan. Bayangkan, berapa dana
yang terserap dengan pembangunan fisik RS dan pengadaan alat medisnya.
Belum berhenti di situ.
Berapa juta obat dan injeksi yang dihabiskan untuk mengobati pasien yang sakit.
Belum lagi, membayar dokter dan para perawatnya. Termasuk sewa kamar RS serta
aspek ekonomi masyarakat lainnya, seperti transportasi, pedagang makanan dan
minuman. Jadi, jangan bermimpi akan berupa pola pikir pembangunan kesehatan di
negara kita.
Sesat
Pikir
Menyimak tema HKN ke-51
2015 “Generasi Cinta Sehat Siap Membangun Negeri” menyiratkan pelibatan generasi penerus untuk
membangun negaranya. Tapi, apakah kita sadar bahwa kebijakan selama ini secara
tak langsung menjerumuskan mereka dalam Generasi Cinta Sakit Siap Membebani Negeri.
Sebagai contoh,
penanganan rokok dan narkoba.
Penyalahgunaan narkoba sebagai dampak dari kebiasaan merokok sebelumnya tak
terlepas dari tanggungjawab penegak hukum dan pengambil kebijakan selama ini.
Masih enggannya,
pemerintah Indonesia mengaksesi Kerangka Kesepakatan Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) menandakan bahwa
pemerintah setengah hati dalam membebaskan warganya dari sakit.
Tingkat perokok di
Indonesia termasuk Aceh sudah memprihatinkan. Jumlah perokok aktif di Indonesia
mencapai 24,3 persen dari jumlah penduduk. Aceh sendiri berada di atas rerata
nasional atau 25 persen dari jumlah penduduk. Jawa Tengah sebagai gudangnya
pabrik rokok hanya 22,9 persen. Demikian juga Jawa Timur masih 23,9 persen dari
jumlah penduduk. Bahkan Jogja –penduduknya setara Aceh- hanya 21,2 persen (riskesdas 2013).
Aceh yang mengamalkan
Syariat Islam tentunya paham bahwa rokok hukumnya makruh. Namun untuk
urusan rokok, sepertinya mereka tutup
mata. Tingkat perokok yang melampaui angka nasional menandakan ada sikap mendua
jika sudah bersinggungan dengan diri sendiri.
Demikian juga peraturan
Menteri Kesehatan soal gambar di bungkus rokok sebagai peringatan, salah
satunya gambar perokok menggendong bayi.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran melarang iklan yang
menggambarkan wujud rokok. Namun dalam Permenkes justru sebaliknya; menunjukkan
rokok dan perokoknya. Desain gambar di bungkus rokok ini
diatur dalam Permenkes No 28/2013. Ada 5 gambar yang disebut seram, nah anehnya gambar pria perokok sambil
menggendong bayi itu masuk ke dalamnya.
Anehnya, Kemenkes sendiri santai saja menanggapi protes ini.
Wakil Menkes, Prof Ali Ghufron menyilakan semua pihak untuk mengevaluasi gambar
tersebut. “Soal bayi dan perokok, silakan dievaluasi,” ujarnya seperti dikutip detik.com (26/6/2015).
Permenkes
tentang gambar pada bungkus rokok yang mulai berlaku 24 Juni 2015 satu di
antara kebijakan ambigu. Satu sisi ingin menyelamatkan generasi muda dari
bahaya rokok, sisi lain, secara tidak
langsung mengajarkan merokok,
Nah, jika kondisi ini masih sering kita alami, maka tidak
salah jika kita harus mengembalikan akal sehat untuk mewujudkan “Generasi Cinta
Sehat Siap Membangun Negeri bukan sebaliknya, Generasi Cinta Sakit Siap Membebani Negeri.