Rencana pemerintah menaikkan cukai rokok tahun 2017 ini belum juga terwujud. Padahal, beberapa kali pemerintah melalu Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan hal tersebut. Selain untuk menambah pendapatan negara, juga menekan jumlah perokok yang berimplikasi pada biaya pengobatan akibat penyakit yang ditimbulkan karena rokok. Bahkan ketua DPR RI saat itu, Ade Kamaruddin sudah menyatakan legislatif setuju harga rokok naik hingga Rp 50.000 per bungkus. Menaikkan harga rokok menjadi strategi menekan angka perokok (Kompas.com, 19/8/2016). Namun hingga akhir Mei 2017 ini, wacana itu tenggelam begitu saja.Pertimbangan pemerintah untuk menaikkkan harga rokok awalnya sebagai upaya menekan jumlah perokok pemula. Karena dalam Rencana Pengembangan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, pemerintah antara lain menargetkan penurunan prevalensi merokok penduduk usia di bawah 18 tahun dari 7,2 persen pada 2015 menjadi 5,4 persen pada 2019. Upaya ini juga untuk mendukung bonus demografi yang puncaknya terjadi pada tahun 2045 mendatang.
Masyarakat Indonesia tidak sadar jika rokok sudah menjadi musuh dalam selimut bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa rokok merupakan pembunuh nomor satu di dunia, sehingga menjadi salah satu ancaman kesehatan terbesar yang pernah dihadapi masyarakat dunia. Menurut data WHO (2015), rokok membunuh hampir enam juta orang pertahun, di antaranya lebih dari 600.000 adalah mereka yang tidak merokok yang terpapar asap rokok (perokok pasif). Maraknya iklan rokok dan murahnya rokok hingga bebasnya orang mendapatkan rokok, membuat benda ini mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat terutama perokok pemula. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menemukan tingkat perokok berusia 10 tahun atau lebih di Indonesia sudah mencapai 47,5 persen. Usia terbanyak merokok tiap hari berusia 30-34 tahun sebesar 33,4 persen, umur 35-39 tahun 32,2 persen. Sedangkan proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (47,5% banding 1,1%). Berdasarkan jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah proporsi perokok aktif setiap hari yang terbesar (44,5%). Artinya merokok memang miliknya warga berpendidikan rendah dan buruh kasar.
Strategi phylanthropy atau politik balas budi dalam bentuk bantuan yang dilakoni perusahaan rokok membuat masyarakat lupa diri, sehingga menafikan akibat yang ditimbulkan karena rokok. Sebut saja Community Social Responsibilty (CSR) melalui beasiswa telah menggelapkan mata masyarakat termasuk pemerintah. Pencitraan positif pabrik rokok merupakan bagian dari jebakan terhadap bom waktu kematian akibat rokok.
HTTS dan KTR
Menyadari bahaya rokok, sejumlah daerah sudah melakukan terobosan pembatasan kawasan rokok dan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR tersebut di antaranya bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya akibat merokok dan menekan angka pertumbuhan perokok pemula. Kota Banda Aceh menjadi daerah kedua yang sudah memiliki regulasi tentang KTR setelah Aceh Barat yang sudah maju selangkah dengan Qanun KTR No. 14 tahun 2015..
Sanksi atau denda bagi pelanggar KTR yakni siapa pun yang merokok dalam area KTR didenda Rp 200 ribu, dan menjual rokok di area tersebut menerima sanksi lebih berat atau denda Rp 500 ribu sudah mendesak untuk memberi efek jera. Sayangnya, penerbitan qanun KTR seperti berada di jalan sunyi. Setelah lahir, sangat jarang qanun tersebut disosialisasikan. Sehingga, larangan merokok di tempat tersebut nyaris tak berlaku.
Momentum peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang jatuh pada setiap tanggal 31 Mei tahun ini juga dapat dijadikan sarana pemahaman KTR. Keuntungan lain adalah HTTS 2017 bertepatan dengan datangnya Ramadan dalam suasana berpuasa. Momentum ini juga bisa digunakan pemerintah dan aktivis antitembakau untuk mengkampanyakan bahaya tembakau khususnya rokok. Jika saat berpuasa bisa berhenti merokok, tak ada salahnya mencoba berhenti total untuk tidak lagi bersentuhan dengan tembakau dan zat adiktif lainnya.
Perokok Pasif
Dalam kasus asap rokok, perokok pasif adalah yang paling menderita. Sudah tak merokok tapi terkena dampaknya. Anak-anak dan perempuan yang tidak tahu menahu soal rokok harus jadi korban. Celakanya lagi, selain pemahaman perokok yang kurang, pemerintah seperti acuh dengan kondisi kesehatan perokok pasif atau yang terpapar rokok.
Hampir tak ada ruang yang tidak terpapar asap rokok. Beberapa tempat yang sudah ditetapkan sebagai area larangan merokok, tapi masih ditemukan perokok yang tanpa bebas terhadap sanksi. Rumah Sakit pun tak bebas dari asap rokok. Jangan tanya angkutan umum, apalagi tempat ibadah yang nyaris tak pernah sepi dari asap rokok.
Mengapa ini terjadi? Selain karena masih kurangnya kesadaran perokok, pengambil kebijakan hingga belum tegasnya peraturan hingga sanksi yang diterapkan. Sehingga peraturan larangan merokok bagaikan anak haram yang tak diinginkan. Bisa jadi qanun atau perda atau apapun namanya tentang larangan rokok atau tembakau hanya menunaikan tugas legislasi agar terlihat pemerintah bekerja. Karena perokok masih bebas mengepul di tempat terlarang. Apalagi, pemerintah Indonesia yang aktif dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sejah tahun 1999 hingga saat belum menerapkan konvensi tersebut. Padaha sudah 190 negara melakukan langkah tersebut. Jika bukan saat ini jangan mimpi Indonesia akan nyaman dan bersih dari asap rokok Paling tidak melindungi mereka terutama para generasi mudah yang tak ada hubungannya dengan rokok.