Menyongsong
tahun baru 2011, Pemerintah Kota Banda Aceh tengah gencar
mengampanyekan Visit Banda Aceh Year 2011 atau VBAY. Sebuah program
menarik minat turis lokal dan mancanegara mengunjungi ibukota Provinsi
Aceh. Tahun kunjungan Banda Aceh yang mulai digagas pertengahan tahun
2010 lalu diharapkan bisa mengundang investor menanamkan modalnya di
ibukota Serambi Mekkah. Prestasi Banda Aceh yang pernah meraih Piala
Adipura dua kali menjadi modal program ini bisa sukses.
Pemko
bersama Pemerintah Aceh juga mengerahkan segenap kemampuan menjadikan
VBAY sebagai jualan bagi pelancong. Berbagai infrastruktur yang memadai,
sangat mendukung proyek impian Banda Aceh ini. Apalagi Aceh
memiliki Bandar udara yang modern dan lengkap dan didukung jalur
penerbangan langsung Banda Aceh ke Malaysia. Selain itu, program Visa
On Arrival yang telah berlaku di Bandara SIM seyogyanya menjadi
pendukung minat pelancong terbang ke Banda Aceh. Potensi wisata
spiritual dan situs tsunami melengkapi jualan program VBAY 2011.
Dominasi
Bali, dan Tanah Toraja dan Lombok akan dipatahkan dengan masuknya Banda
Aceh sebagai daerah tujuan wisata. Sehingga Aceh tidak hanya kesohor
karena tsunami atau pemberontak. Tidak hanya terdengar karena hukum
cambuk, tapi soal budaya dan keramahan penduduknya ikut mendukung i
destinasi para pelancong. Para agen perjalanan pun tidak lagi sungkan
menawarkan paket wisata Aceh khususnya Banda Aceh kepada konsumennya.
Atau para pengusaha angkutan pun bangga mempersembahkan potensi Banda
Aceh kepada penikmat jasanya. Semua pihak diharapakan mendukung dan
menyukseskan VBAY 2011 nanti.
Smoking Tourism
Selain
rasa optimis dan potensi yang tersedia, Banda Aceh masih terganjal
dengan persoalan kesiapan infrastruktur dan SDM dalam memenej VBAY.
Belum adanya regulasi khusus bidang pariwisata menjadi sandungan
serius. Demikian juga soal kebersihan sarana umum dan tempat ibadah juga
kondisi lokasi wisata yang masih memalukan. Kamar mandi dan ruang
ganti pakaian bau pesing. Belum lagi sampah berserakan di berbagai
tempat. Bahkan saluran air masih ditemukan tumpukan sampah. Banjir
genangan yang belum teratasi sejak beberapa tahun terakhir harus
mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat.
Persoalan
lain adalah perilaku warga Aceh khususnya masyarakat Banda Aceh dalam
menyambut VBAY. Para penggiat jasa kurang berperan dalam melayani tamu.
Selain pelayanan yang tidak friendly, juga sikap mereka belum
mencerminkan sosok daerah tujuan wisata. Hal yang sangat sepele tapi
menentukan image negatif terhadap program VBAY.
Kebiasaan
merokok para penjual jasa di Aceh menjadi sandungan. Warga Aceh bisa
merokok hampir di sembarang tempat. Nyaris tak sejengkal pun tanah
Aceh bebas asap rokok, kecuali tempat khusus. Demikian juga dengan
kawasan Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang belum bebas asap
rokok . Para penumpang yang baru mendarat di bandara langsung disambut
asap rokok para pengemudi taksi dan pengantar tamu. Mereka tanpa
sungkan menawarkan jasa sementara di tangannya masih mengepul asap
rokok. Apalagi dengan jasa ojek atau RBT yang kadang mangkal juga di
sekitar area bandara.
Kondisi
serupa juga bisa disaksikan di terminal bus atau angkutan jarak jauh.
Sesampai di terminal bus, para tukang ojek dan pengemudi becak pun
melakukan hal sama. Saat mengantar tamu pun, para awak becak tak sungkan
menikmati rokok kesayangannya padahal dia tengah melayani penumpang.
Jika
mengunjungi warung kopi dan rumah makan, pelayan kadang juga merokok.
Sambil menawarkan pesanan, mereka menyempatkan diri menghabiskan sisa
racun yang terkandung dalam balutan rokok. Bahkan, ketika mengantar
pesanan, ada sebagian penjual warung kopi menyertakan rokok.
Persoalan
lain adalah area asap rokok. Pengunjung di rumah makan dan warung kopi
sebagian besar pasti merokok. Padahal, warung kopi satu dari beberapa
objek wisata yang ditawarkan dalam VBAY. Pengunjung yang tidak merokok
pasti sangat terganggu dengan kebiasaan merorok warga Aceh. Jika ini
yang terjadi, pasti omset dan potensi wisata berkurang satu.
Area
wisata dan rumah ibadah tak luput asap rokok. Bahkan di tempat wisata
dan rumah ibadah, tempat sampah nyaris tak berfungsi. Pengunjung
seenaknya merokok dan membuang sampah serta puntung rokok sembarangan.
Demikian juga kondisi di rumah sakit, sekolah dan kampus. Rumah sakit
yang seharusnya bebas asap rokok, malah kepulan l asap pengunjung dan
keluarga pasien nyaris tanpa jeda. Sama halnya sekolah dan kampus.
Beberapa
sekolah yang telah menjalankan bebas asap rokok hanya berjalan sejenak.
Iklan rokok pun dipajang tak jauh dari sekolah. Kampus Darussalam juga
terkena imbasnya. Pemandangan “unik” sepanjang jalur menuju kampus
Darussalam dijejal dengan iklan rokok yang menarik perhatian dengan
desain lampu dan model. Perhatikan sisi kiri dan jalan jembatan
Lamnyong, Darussalam dan menjelang gerbang kampus juga turunan dari
jembatan ini penuh sesak iklan rokok. Lantas, masih ada jengkalan tanah
bebas dari pengaruh rokok?
Rokok
di Aceh bahkan masuk kampus. Sales Promotion Girl pun direkrut dari
mahasiswa. Perempuan muda di Aceh mengenali rokok sejak masuk kampus
hingga menamatkan kuliah. Perkenalan dengan rokok melalui pekerjaan
sampingan dan baliho di dekat tempat tinggal dan tempat belajar mereka.
Baliho
raksasa produk rokok merupakan hal yang negatif bagi pencitraan sebagai
kota tujuan wisata. Iklan rokok ada di mana-mana. Bahkan sebuah baliho
raksasa di Simpang Jampo Tape, Banda Aceh menyesatkan. Banner Go A Head
dipasang persis di depan lampu lalulintas. Tulisan ini mengandung arti
jalan terus, padahal lampu merah tengah menyala.
Pemasangan
iklan rokok di Aceh khususnya Banda Aceh tak beraturan dan bisa ditemui
di mana saja. Bandingkan Kota Yogyakarta memberlakukan pajak hingga
enam kali lipat untuk produk rokok, sehingga sosialisasi rokok bisa
dibendung. Sangat berbeda dengan Banda Aceh yang memberlakukan tarif
serupa dengan produk lainnya.
Sikap Tegas